Archive for Sastra

Sebuah Harapan (Bagian 1)

DIARY-ku. Jam delapan malam. 17 Nopember. Suasana pelabuhan masih terasa padat. Angin laut yang membawa butiran-butiran air terasa dingin menusuk hingga ke tulang. Pukulan angin cukup kencang memukul-mukul benda-benda yang berusaha menghalangi lajunya.

Di atas kapal yang hendak berangkat, aku berdiri tegak dan melemparkan pandanganku ke lautan luas, meski gelap dan angin begitu kencang memukul-mukul tubuhku. Sesekali aku membenarkan letak jilbab hijau esmeralda yang berkibar-kibar diterjang angin. Aku melangkah dan merapat ke sisi kapal yang dibentengi pagar besi. Menunduk sebentar dan membenarkan letak kacamataku.

Diary, bagi seorang wanita, usia dua puluhan, telah nampak tanda-tanda kedewasaan. Dan itu pula yang selama ini sedang aku pikirkan seorang diri. Pikiranku mengembara menembus mega-mega hitam.

Ah, hidup ini memang misteri. Nggak nyangka. Betul-betul nggak nyangka kalau Mas Rahadi ternyata mau menikahi aku.

Aku mulai mempermainkan jari dan mengepal-ngepalkannya untuk mengusir hawa dingin yang mulai merayap di sekujur tubuhku.

Angin malam ini jadi saksi. Kalau aku ternyata diam-diam mulai menyukainya, kalau diam-diam aku memiliki sebuah harapan. Aku kenal Mas Rahadi meski baru luarnya saja. Tapi cukup membuat aku berdebar-debar saat dia menyatakan berminat menjadi pendamping hidupku. Ia mau berusaha menjadi teman sekaligus suami yang bisa membina dan membimbingku. Benar-benar misteri.

Kuseret kaki menuju bangku kecil yang ada dekat musholla di kapal ferry ini. Kaki yang dari tadi sudah mulai gemetaran menahan terjangan dingin angin malam.

Tapi… kenapa orang rumah nggak begitu menyukai kehadirannya, kenapa papa dan mama begitu membencinya. Adakah yang salah dalam dirinya? Adakah sesuatu yang mengerikan dalam jiwanya? Aku sama sekali tak mengerti. Sepertinya aku harus berusaha keras. Berusaha dan berusaha sampai papa dan mama mau menerima Mas Rahadi apa adanya.

Sejurus kemudian aku jemu memandang laut dan langit yang ditaburi bintang-bintang. Kuturuni tangga kapal yang mulai meninggalkan pelabuhan Bakauheni menuju pulau Jawa, yang selama ini jadi tempat awal bertemu dengan pria yang hendak menjadi pendamping hidupku. Detik-detik berikutnya aku terlelap dalam sebuah ruangan ber-AC setelah agak lama mataku berusaha memelototi gambar-gambar hidup di layar televisi.

****

Diaryku. Jam lima sore awal Desember. Langit kotaku tak lagi mendung. Angin siang tadi baru saja mendorong mega-mega menjauhi kota. Sinar matahari yang mulai meredup menambah suasana sore yang cerah lebih bernuansa. Selembar foto diri Mas Rahadi tergeletak tak jauh dari meja yang dipenuhi beberapa buku dan catatan-catatan pengajian siang tadi.

Ah, aku sudah dikhitbah Mas Rahadi. Dan sebenarnya aku sudah siap menjadi pendamping hidupnya. Hari bahagia itu ingin segera kuraih. Ingin segera merasakan bagaimana menjadi seorang istri dan ibu dari anak-anakku. Ya, sudah sebulan ini Mas Rahadi mengkhitbahku. Sering juga aku berkomunikasi dengannya. Lumayan juga. Ia bisa mengerti segala keinginanku. Bahkan ia pernah mengatakan bahwa ia bersedia menerima aku apadanya. Ia bilang bahwa manusia itu nggak ada yang sempurna. Justeru dengan hidup berdampingan sebagai suami istri nanti, di situlah seseorang harus bisa bersikap bijaksana dengan menghargai pasangannya. Saling mengisi di antara kelebihan dan kekurangannya. Jangan sampai egoisme menjadi penghalang untuk saling menghargai. Mas Rahadi juga pernah bilang, bahwa keluarganya siap menerima aku apa adanya. Karena pilihan Mas Rahadi adalah pilihan keluarganya. Aku yakin, kalau dia berkata sesungguhnya.

Namun, itu tak berarti pihak keluargaku menerima juga kenyataan ini. Terutama mama, beliau masih menyimpan misteri tentang penilaiannya sama Mas Rahadi, yang aku sendiri tak pernah bisa mengerti sampai sekarang. Yang pasti beliau nggak suka dengan kehadiran Mas Rahadi. Entahlah, aku tak habis pikir. Kadang-kadang aku bertanya, kurang apa sih sebenarnya Mas Rahadi dalam pandangan mereka? Apa kurang ganteng? Ah, masak seorang aktivitis pengajian masih melakukan penilaian seperti itu hanya untuk menyenangkan hati ortunya. Tapi mungkin wajar juga ya? Entahlah, aku sendiri sebenarnya tak terlalu memikirkan. Mau tampangnya mirip Leonardo Di Caprio atau Jared Letto, nggak peduli, yang penting akhlaknya baik. Biarin cakep juga asal taat. Hi..hi.. (enak dong kalau gitu).

Eh, benar nggak sih, kalau Mas Rahadi itu orangnya eksentrik? Kata Ria, sohib karibku, ia nggak nyangka kalau Mas Rahadi suka nonton film-film yang romantis, kayak Sleepless In Seatle, Romeo and Juliet, The House of Spirit atau Titanic, juga Hope Floats. Emang sih, Mas Rahadi pernah bilang kalau kenyataan yang sedang dihadapinya mirip di film Hope Floats yang pernah ditontonnya. Entahlah, karena aku sendiri belum pernah menontonnya. Maklumlah di tempat kostku nggak ada VCD Player atau komputer yang dilengkapi dengan program MPEG. Beda dengan tempatnya tinggal, nyaris perangkat teknologi informasi ada semua. Termasuk komputer yang sudah dilengkapi dengan program untuk nyetel VCD.

Bersambung…